Kamis, 21 Februari 2013

Anak Hiperaktif

PENDAHULUAN

Ditinjau secara psikologis, hiperaktif adalah gangguan tingkah laku yang tidak normal yang disebabkan disfungsi neurologia dengan gejala utama tidak mampu memusatkan perhatian. Begitu pula anak hiperaktif adalah anak yang mengalami gangguan pemusatan perhatian.

Gangguan ini disebabkan kerusakan kecil pada system saraf pusat dan otak sehingga rentang konsentrasi penderita menjadi sangat pendek dan sulit dikendalikan. Penyebab lainnya dikarenakan temperamen bawaan, pengaruh lingkungan, malfungsi otak, serta epilepsi. Atau bisa juga karena gangguan di kepala seperti geger otak, trauma kepala karena persalinan sulit atau pernah terbentur, infeksi, keracunan, gizi buruk, dan alergi makanan.
Anak hiperaktiv adalah anak yang mengalami gangguan pemusatan perhatian dengan hiperaktivitas (GPPH) atau attention deficit and hyperactivity disorder (ADHD). Kondisi ini juga disebut sebagai gangguan hiperkinetik. Dahulu kondisi ini sering disebut minimal brain dysfunction syndrome. Terhadap kondisi siswa yang demikian, biasanya para guru sangat susah mengatur dan mendidiknya. Di samping karena keadaan dirinya yang sangat sulit untuk tenang, juga karena anak hiperaktif sering mengganggu orang lain, suka memotong pembicaran guru atau teman, dan mengalami kesulitan dalam memahami sesuatu yang diajarkan guru kepadanya

DIVINISI ANAK HIPERAKTIF

Dr. Seto Mulyadi dalam bukunya “Mengatasi Problem Anak Sehari-hari“ mengatakan pengertian istilah anak hiperaktif adalah : Hiperaktif menunjukkan adanya suatu pola perilaku yang menetap pada seorang anak. Perilaku ini ditandai dengan sikap tidak mau diam, tidak bisa berkonsentrasi dan bertindak sekehendak hatinya atau impulsif.
Sani Budiantini Hermawan, Psi., “Ditinjau secara psikologis hiperaktif adalah gangguan tingkah laku yang tidak normal, disebabkan disfungsi neurologis dengan gejala utama tidak mampu memusatkan perhatian.
Para ahli mempunyai perbedaan pendapat mengenai hal ini, akan tetapi mereka membagi ADHD ke dalam 3 jenis berikut ini:
1. Tipe anak yang tidak bisa memusatkan perhatian.
Mereka sangat mudah terganggu perhatiannya, tetapi tidak hiperaktif atau Impulsif. Mereka tidak menunjukkan gejala hiperaktif. Tipe ini kebanyakan ada pada anak perempuan. Mereka seringkali melamun dan dapat digambarkan seperti sedang berada “di awang-awang”.
2. Tipe anak yang hiperaktif dan impulsive.
Mereka menunjukkan gejala yang sangat hiperaktif dan impulsif, tetapi bisa memusatkan perhatian. Tipe ini seringkali ditemukan pada anak- anak kecil.
3. Tipe gabungan.
Mereka sangat mudah terganggu perhatiannya, hiperaktif dan impulsif. Kebanyakan anak anak termasuk tipe seperti ini. Jadi yang dimaksud dengan hiperaktif adalah suatu pola perilaku pada seseorang yang menunjukkan sikap tidak mau diam, tidak terkendali, tidak menaruh perhatian dan impulsif (bertindak sekehendak hatinya). Anak hiperaktif selalu bergerak dan tidak pernah merasakan asyiknya permainan atau mainan yang disukai oleh anak-anak lain seusia mereka, dikarenakan perhatian mereka suka beralih dari satu fokus ke fokus yang lain. Mereka seakan-akan tanpa henti mencari sesuatu yang menarik dan mengasikkan namun tidak kunjung datang.

London, Anak hiperaktif atau ADHD (attention-deficit/hyperactivity disorder) diderita 3-5 persen anak-anak di seluruh dunia. Ilmuwan menemukan bukti penyebab ADHD yang selama ini diduga pola asuh atau pola makan yang buruk ternyata adalah gangguan genetik.

Peneliti telah mengamati peta gen lebih dari 1.400 anak dan menemukan bahwa anak dengan ADHD memiliki potongan kecil DNA yang digandakan atau hilang.

Anita Thapar, seorang profesor psikiatri anak dan remaja dari Cardiff University yang juga memimpin studi ini mengungkapkan bahwa penelitian harus dapat membantu menghilangkan mitos bahwa ADHD disebabkan oleh pengasuhan yang buruk atau pola makan buruk akibat terlalu banyak konsumsi gula.

"Hasil ini menarik, karena memberikan kita bukti hubungan genetik langsung dengan ADHD. Sekarang kita bisa mengatakan bahwa ADHD adalah penyakit genetik dan otak anak yang mengembangkan kondisi ini berbeda dengan otak anak-anak lainnya," ungkapnya, seperti dikutip dari Reuters, Kamis (30/9/2010).

ADHD lebih sering terjadi pada anak laki-laki. Anak dengan ADHD akan memiliki kegelisahan berlebih, impulsif, mudah terganggu dan sering mengalami kesulitan baik di rumah atau sekolah.

Hingga kini tidak ada obat untuk menyembuhkannya, tapi gejala yang muncul bisa diminimalisir melalui kombinasi obat dan terapi perilaku.

Tim dari Cardiff University menganalisis genom dari 366 anak dengan ADHD yang dibandingkan dengan 1.047 sampel anak-anak tanpa ADHD untuk menemukan variasi dalam genetikanya.

Studi ini menemukan adanya tumpang tindih (overlap) antara segmen DNA yang dihapus atau didupliaksi yang dikenal sebagai copy number variants (CNVs) lebih umum pada anak-anak dengan ADHD dibandingkan anak-anak lain. Hasil penelitian ini diterbitkan dalam jurnal medis The Lancet.

Nigel Williams yang mengerjakan studi ini menuturkan overlap ditemukan di sebuah wilayah tertentu pada kromosom 16 yang telah dikaitkan dengan skizofrenia dan gangguan kejiwaan yang mencakup sejumlah gen, termasuk salah satu yang dikenal memainkan peran dalam perkembangan otak.

"Dengan adanya hasil penelitian ini akan dapat membantu mengungkapkan dasar dari kondisi biologis ADHD. Hal ini sangat penting untuk membantu mengembangkan pengobatan baru yang lebih baik dan jauh lebih efektif," ujar Prof Thapar.

Anak hiperaktif atau anak autis memang salah satu sifat anak yang berlebihan atau bisa dikatakan sebagai kelainan secara kejiwaan namun tidak gila atau stress namun bisa dikatakan anak yang selalu bikin ulah maupun memiliki dunianya sendiri. Banyak orang yang menganggap hiperaktivitas atau Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) sebagai tanda-tanda anak nakal dan akan menjadi nakal samapi pada hari tuanya dan juga beranggapan cara mengatasi anak hiperaktif sangat sulit dan apapagi mendidik anak autis. Namun jangan salah justru anak hiperaktif dan anak autis tersebut adalah bisa dikatakan anak jenius atau pintar dan cerdas. Bisa diketemukan bahwa anak yang masa kecilnya hiperaktif dan autis biasanya memiliki bakat potensi terpendam yang jika salah mengarahakan malahan bisa menjadi tidak baik maka dari itu anak hiperaktif dan autis harus dididik dan diarahkan dengan baik.


Anak hiperaktif ada perbedaan sedikit dengan anak autis, kalau anak hiperaktif itu biasanya anak banyak melakukan aktifitas yang berlebihan bahkan tidak mau diam. Gejala anak hiperaktif biasanya sulit menerima sebuah perintah, sukar memusatkan perhatian, mudah kehilangan barang, dan banyak bicara. Ada yang mengatakan bahwa anak hiperaktif ada yang dipiju dari akibat faktor genetis atau keturunan atau pola mendidik anak. Selain itu pemicunya adalah terjadi akibat kondisi otak yang tak dapat memproduksi senyawa kimia untuk mengorganisasikan pikiran. Tak heran bila anak-anak yang terlalu aktif terkesan tak terencana dan seenaknya sendiri.

Sedangkan anak autis lebih cenderung memiliki dunianya sendiri dan suka berimajinasi sendiri. Anak-anak penderita autisme sebenarnya KURANG cenderung sengaja berbuat jelek daripada anak-anak lain pada umumnya. Mereka terlihat berperilaku buruk; seperti berlarian di ruangan, memukul-mukulkan benda, menolak untuk untuk berkumpul, atau memanjat lemari esHal itu bisa terpicu kalau anak pada masa kecilnya sering sendiri maupun tidak ada orang yang mengajak bicara, sehingga dia sering berbicara sendiri bahkan merasa dia tidak butuh orang lain untuk berbicara karena asyik dengan imajinasinya sendiri.

Berikut beberapa cara mengatasi anak hiperaktif dan mendidik anak autis:
  • anak hiperaktif harus mendapatkan pendidikan khusus, terapi perilaku, dan psikoterapi yang melibatkan seluruh anggota keluarga. 
  • keluarga harus berhati-hari mencari sekolah bagi anak berkebutuhan khusus itu Suasana belajar dan lingkungan sekolah harus membuatnya nyaman 
  • mengikutkan kegiatan positif untuk meningkatkan kedisiplinan anak, seperti bela diri, balet, berenang, atau bermain bola basket. 
  • mengajarkan Anda untuk duduk diam selama waktu makan 
  • Keamanan adalah kuncinya. Demi menangani anak autis, menciptakan lingkungan yang aman adalah sebuah tantangan. 
  • Terakhir adalah berdoa supaya anak anda disembuhkan dari kelainan hiperaktif dan autis  
  • Ajak anak tersebut utuk gembira bersama, misalnya main game online gemscool dan kenalkan pemakaian komputer supaya jadi jerdik entah itu membuat email gmail dan memulai pdkt dengan anak supaya anak tidak merasa sendiri
Oke demikian beberapa tips atau cara menangani anak hiperaktif atau mendidik anak autis semoga bermanfaat dan bersabarlah dalam mendidiknya

 
Sumber :
  • Menerobos Dunia Anak, Dr. Mary Go Setiawani, Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 2000
  • Zafiera, Ferdinand. 2007. Anak Hiperaktif. Jogjakarta: Katahati.
  • www. CyberNews Suara Merdeka.com
  • Irawati Ismail.R.Terapi Psikofarmakologi pada
  • http://www.balita-anda.com
  • http://ideguru.wordpress.com/2010/04/08/pengertian-anak-hiperaktif/
  •  http://health.detik.com/read/2010/09/30/103007/1452021/764/penyebab-anak-hiperaktif-adalah-gangguan-genetik
  • http://detiksoloweb.blogspot.com/2012/11/cara-mengatasi-anak-hiperaktif-mendidik.html

Rabu, 20 Februari 2013

Sindrom sarang Kosong

a.    Pengertian
Istilah Empty Nest Syndrome, secara harfiah dapat diartikan sindroma sarang kosong (empty = kosong, nest = sarang ). Sindroma ini adalah suatu keadaan yang menimpa kaum ibu pada saat anaknya meninggalkan rumah karena belajar di kota lain atau ke luar negeri. Juga dapat terjadi ketika anaknya menikah dan tidak tinggal serumah lagi. Keadaan ini menyebabkan ada perasaan tidak diperlukan lagi peranan sebagai ibu seperti waktu sebelumnya (Dewi, 2007).
Sindrom sarang kosong mengacu pada kesedihan yang banyak terjadi pada orang tua ketika anak-anak mereka tidak tinggal lagi bersama dalam satu rumah. Kondisi ini secara khas terjadi pada wanita.  Sindrom sarang kosong berbeda dengan kesedihan karena kehilangan orang yang dicintai. Kesedihan pada sindrom sarang kosong sering tidak dikenali, sebab seorang anak orang dewasa pindah dari rumah dilihat sebagai peristiwa yang normal (Betterhealth, 2006).
Sindrom sarang kosong adalah suatu istilah yang menggambarkan kondisi psikologi dan emosi yang dialami wanita dalam suatu waktu karena ditinggalkan oleh anak-anaknya atau karena anaknya menikah (Marjorie, 2007). 
Sindrom sarang kosong mengacu pada merasa tekanan, kesedihan, dan atau duka cita yang dialami oleh orang tua setelah anak-anaknya meninggalkan rumah setelah dewasa atau berumah tangga. Hal ini dapat terjadi ketika anak-anaknya pergi karena kuliah atau menikah (Cushman, 2005).  
b.   Penyebab
Empty Nest Syndrome (ENS) muncul sebagai gejala yang banyak melanda kaum ibu, terutama di negara barat, yang hubungan kekerabatan keluarga hampir tidak ada. Di barat, yang dinamakan keluarga hanya ayah, ibu, dan anak-anak, sehingga bila anak - anak pergi meninggalkan rumah, terasa sekali adanya kekosongan. Apalagi bila suami telah meninggal dunia, atau terpaksa hidup sendiri karena perceraian. Di Indonesia yang nilai kekerabatan keluarga masih menyertakan kakek, nenek, paman, bibi, saudara sepupu, kemenakan, dan saudara dekat lainnya. Akan tetapi untuk ke depan, kemungkinan norma kekerabatan kita juga dapat berubah, dan mengikuti pola kekerabatan yang ada di negara barat. Walaupun demikian, sekarang pun bukan berarti ENS tidak dirasakan kaum ibu di Indonesia, karena hubungan emosi ibu dan anak bersifat universal (Dewi, 2007).
Keibuan selalu berkaitan dengan relasi ibu dengan anaknya sebagai kesatuan fisiologis, psikis dan sosial. Relasi tersebut dimulai sejak anak berada dalam kandungan ibunya dan dilanjutkan dengan proses-proses fisiologis berupa kelahiran, periode menyusui dan memelihara anak. Ketika anak mulai meninggalkan rumah, seorang ibu harus menghadapi masalah penyesuaian kehidupan yang biasa disebut dengan periode sarang kosong. Sindrom sarang kosong ini sangat terasa bagi ibu rumah tangga karena sebagian besar waktu mereka dihabiskan di rumah dan selalu berinteraksi dengan anak-anak (Rahmah, 2006).
c.    Tanda dan gejala
Tanda dan gejala sindrom sarang kosong menurut Dewi (2007) yaitu:
1).    Ibu meneteskan airmata atau menangis tersedu-sedu, bila teringat anaknya.
2).    Sering termenung menatap tempat tidur yang kosong.
3).    Menaruh pakaian anaknya di bawah bantalnya
4).    Diam-diam menciumi pakaian putra atau putrinya.
Keadaan ini dianggap normal, bila berlangsung hanya satu minggu setelah kepergian anaknya, tetapi bila keadaan ini berlangsung lama maka disebut sindrom sarang kosong.
Wanita yang mengalami sindrom sarang kosong akan mengalami krisis kepercayaan diri, mereka merasakan tidak banyak berharga dalam kehidupan masyarakat (Thang, 2006).  

d.   Faktor Resiko
Saltz (2008) menjelaskan bahwa sindrom sarang kosong dibuktikan dengan adanya kesulitan dalam menghadapi perubahan, yang mana dapat dilihat dari gejala yang muncul, yaitu sedih yang berlebihan, takut akan peran anda dalam kehidupan sekarang, adanya aturan utama dalam kegiatan setiap hari, bagaimana anda memandang diri sendiri, dan bagaimana fungsi perkawinan anda.   
Menurut Rahmah (2006) ada beberapa faktor yang mempengaruhi sindrom sarang kosong pada ibu, yaitu keberadaan dan hubungan dengan pasangan, hubungan dengan anak sebelum, saat dan sesudah terpisah serta keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri.
Adapun faktor resiko yang menyebabkan seseorang terkena sindrom sarang kosong, sebagai berikut (Saltz, 2008):
1).      Orang yang sulit menerima perubahan dan perpisahan
2).      Orang tua yang selalu memberikan waktunya secara penuh
3).      Orang yang mengalami menopause, pensiun dan penuaan
4).      Orang tua yang merasa tidak siap ditinggal pergi anaknya dari rumah
e.    Cara Mengantisipasi
Sindrom sarang kosong tidak akan terjadi jika anda memikirkan bagaimana menghadapi perubahan agar menjadi lebih mudah. Beberapa hal dibawah ini dapat anda lakukan dengan mudah, lebih menggembirakan dan menyenangkan, Saltz (2008):
1).      Membuat perencanaan awal
Mulailah menyusun rencana sedini mungkin dan tanyakan pada anak anda tentang rencana mereka dimasa depan.
2).      Mengerti akan pasangan kita
Lihatlah secara positif, bahwa waktu yang ada adalah milik anda dan suami untuk menumbuhkan kembali sikap romantis, ciptakan privasi dalam rumah, berjalan-jalan dan cari tahu kembali mengenai hal-hal lain.
3).      Buatlah daftar tentang mimpi dan cita-cita anda
Membuat daftar dari pemikiran kita tanpa harus tercapai dan melibatkan anak-anak. Seperti membuat puisi, belajar piano, menemukan sebuah pekerjaan baru atau melanjutkan sekolah karena belajar tidak mengenal usia.
4).      Menghindari perubahan yang terlalu besar
Jangan membuat perubahan yang terlalu besar, berilah waktu pada diri anda dan jangan melakukan sesuatu secara tiba-tiba.
5).      Berbagi dengan orang lain yang mengalami hal sama
Satu masalah yang timbul pada ENS adalah bagaimana mendapakan simpati, karena itu terbukalah kepada orang lain.
6).      Persiapkan anak anda
Persiapkanlah suatu hal yang terbaik bagi anda dan anak anda.
Apabila sindrom sarang kosong terjadi berlarut-larut dan tidak diantisipasi, maka seorang ibu akan menjadi sangat sensitif dan kerap berprasangka negatif. Seorang ibu merasa anaknya tidak lagi menempatkannya di urutan pertama dalam hidup setelah anaknya menikah. Ia merasa anaknya lebih memilih pasangannya daripada dirinya (Indriasari & Ivvaty, 2007).  
f.      Cara Mengatasi
Terdapat beberapa cara yang baik untuk mengatasi akibat ENS yang merugikan, yaitu meyakinkan pada diri sendiri bahwa kepergian anak adalah untuk kebaikan masa depannya. Tidak perlu merasa tidak berguna, karena semua bimbingan seorang ibu yang disertai kasih sayang yang mendalam, akan tertanam dalam nurani anak. Menghindari mengungkap sesuatu yang merisaukan perasaan anak. Berbagi rasa dengan teman atau saudara yang mengalami hal yang sama.  Mencurahkan perhatian pada hal yang menyenangkan atau melakukan pekerjaan sesuai hobi (Dewi, 2007).  
Menurut Rahmah (2006), penyesuaian awal yang harus dilakukan adalah penyesuaian terhadap keluarga yang dalam hal ini berarti pasangan hidup atau suami, dan secara otomatis menyebabkan harus dilakukannya perubahan peran. Perubahan peran seorang ibu akan menjadi awal penyesuaian diri menghadapi sindrom sarang kosong. Seorang ibu yang masih memiliki pasangan, cenderung lebih mudah menyesuaikan diri dibandingkan dengan ibu yang sudah tidak memiliki pasangan. Keberadaan pasangan sangat berpengaruh dalam mencapai keseimbangan diri seorang ibu setelah kepergian anak, karena orientasi peran dalam hidup kembali berpusatkan pada pasangan. Selain itu, keberadaan pasangan juga mampu mereduksi kesedihan dan rasa sepi pada diri seorang ibu. Untuk ibu yang sudah tidak didampingi pasangan, cenderung mengorientasikan diri pada kegiatan diluar rumah. Dengan melibatkan diri pada kesibukan dan keramaian di luar rumah, seorang ibu mendapatkan kompensasi atas rasa kehilangannya terhadap anak-anak. Kemudian bersamaan dengan berjalannya waktu sebagai pemicu munculnya kebiasaan, seorang ibu akan keluar dari sindrom sarang kosong. 
 
Lebih lanjut Rahmah mengungkapkan bahwa penyesuaian diri seorang ibu yang mengalami sindrom sarang kosong dipengaruhi beberapa faktor, yaitu: kemampuan menjalin hubungan baik dengan orang lain, perkembangan dan kematangan intelektual dan emosi, agama, usia, psikologis, kebahagiaan personal, keyakinan dan percaya diri, serta produktivitas. Bersamaan dengan itu, diidentifikasi pula dinamika penyesuaian diri ibu yang diawali dengan berubah drastisnya keadaan didalam rumah yang memunculkan kesepian dan kesedihan berlarut-larut sehingga dirasakan sebagai tekanan hidup. Lansia perlu mengalihkan diri pada kegiatan-kegiatan tertentu termasuk pendekatan kepada Tuhan, guna membantu meringankan beban dan menerima keadaan dirinya apa adanya sehingga lansia bisa menikmati kehidupan barunya tanpa kehadiran anak-anak

Selasa, 19 Februari 2013

FENOMENA WANITA BEKERJA

Fenomena wanita be­kerja sebenarmya bu­kan­lah fenomena baru yang muncul kemarin sore, melainkan sejak za­man awal diciptakannya ma­nusia. Hanya cara dan istilahnya yang berbeda pada ma­sing-masing zaman. Menjadi wanita tidaklah semudah yang dibayangkan oleh seorang pria tentang wanita. Apalagi wanita Indonesia, yang masih sangat kental dengan budaya ketimuran, yang selalu memandang wanita adalah sebagai seorang ibu yang anggun, halus, lemah lembut, selalu dekat dengan ke­luarga, dengan kasih sa­yang­nya membesarkan buah ha­tinya, dan sebagainya. Pe­rum­paan dan istilah itu, sepertinya hanya layak diberikan ke­pada kaum wanita saja.

Sejak dilahirkan wanita me­­mang memiliki kodrat yang membedakannya dengan kaum pria. Wanita Indonesia adalah wa­nita bangsa Timur yang meng­agungkan posisinya di keluarga. Sejak dahulu wanita menekuni peranannya di da­lam lingkup keluarga sebagai pendamping suami serta ibu bagi anak-anaknya. Pengasu­han anak-anak 100% berada di tangan ibu dan ayahnya, tidak di­serahkan kepada pihak lain ter­masuk pengasuh.


Tetapi, seiring dengan per­kem­bangan zaman dan era glo­balisasi yang semakin maju, kini wanita Indonesia diberi ke­sempatan serta peran yang sama dengan pria untuk ber­partisipasi dalam pembangunan nasional. Program pening­katan peran wanita di dalam pembangunan semakin men­da­pat perhatian. Wanita diberi kesempatan untuk berperan lebih majemuk dan menikmati pendidikan tinggi. Hasilnya, banyak wanita yang tampil dan berperan dalam kehidupan ber­masyarakat, berbangsa, ber­­negara, dan dalam berbagai aktivitas ekonomi.

Keterlibatan wanita yang su­­dah kentara membawa dam­pak terhadap peran wanita da­lam kehidupan keluarga. Fe­no­mena yang terjadi dalam ma­syarakat adalah semakin ba­nyak­nya wanita membantu sua­­mi mencari tambahan peng­­hasilan, selain karena di­do­rong oleh kebutuhan ekonomi keluarga, juga wanita se­makin dapat mengekspresikan dirinya di tengah-tengah keluarga dan masyarakat. Keadaan ekonomi keluarga mempengaruhi kecenderungan wanita untuk berpartisipasi di luar rumah, agar dapat membantu meningkatkan perekonomian keluarga.

Motivasi untuk bekerja de­ngan mendapat penghasilan khu­susnya untuk wanita go­lo­ngan menengah tidak lagi ha­nya untuk ikut memenuhi ke­butuhan ekonomi keluarga, me­lainkan juga untuk meng­gu­nakan keterampilan dan pe­nge­­tahuan yang telah mereka peroleh serta untuk mengembangkan dan mengaktulisasikan diri. Di kehidupan keluarga, suami dan istri umumnya memegang peranan dalam pem­­binaan kesejahteraan ber­sama, secara fisik, materi mau­pun spiritual, juga dalam me­ningkatkan kedudukan ke­luarga dalam masyarakat un­tuk memperoleh penghasilan yang pada dasarnya di­mak­sud­kan untuk memenuhi ke­bu­tuhan eko­nomi keluarga.

Tugas untuk memperoleh penghasilan keluarga secara tradisional terutama dibeban­kan kepada suami sebagai ke­pala keluarga, sedangkan peran istri dalam hal ini dianggap sebagai penambah penghasilan keluarga. Dalam golongan ber­pernghasilan rendah, istri lebih berperan serta dalam memperoleh penghasilan untuk keluarga (Ihromi, 1990). Seringkali kebutuhan rumah tangga yang begitu besar dan mendesak, membuat suami dan istri harus bekerja untuk bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Kondisi tersebut membuat sang istri tidak punya pilihan lain kecuali ikut mencari pe­kerjaan di luar rumah. Ada pula ibu-ibu yang tetap memilih untuk bekerja, karena mempunyai kebutuhan sosial yang tinggi dan tempat kerja mereka sangat mencukupi kebutuhan mereka tersebut. Dalam diri mereka tersimpan suatu kebutuhan akan penerimaan sosial, akan adanya identitas sosial yang diperoleh melalui komunitas kerja. Bergaul dengan rekan-rekan di kantor, menjadi agenda yang lebih menyenangkan dari pada tinggal di rumah. Faktor psikologis seseorang serta keadaan internal keluarga, turut mempengaruhi seorang ibu untuk tetap mempertahankan pekerjaannya (Yu­lia, 2007).

Wanita Bekerja

Menurut Beneria (dalam Gunn, 1994) wanita yang be­ker­ja adalah wanita yang menjalankan peran produktifnya. Wanita memiliki dua kategori peran, yaitu peranan reproduktif dan peranan produktif. Pe­ranan reproduktif mencakup peranan reproduksi biologis, se­dangkan peranan produktif adalah peranan dalam bekerja yang menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomis.

Banyak persoalan yang di­alami oleh para wanita ibu ru­mah tangga yang bekerja di luar rumah, seperti bagaimana mengatur waktu dengan suami dan anak hingga mengurus tu­gas-tugas rumah tangga dengan baik. Ada yang bisa me­nikmati peran gandanya, na­mun ada yang merasa kesulitan hingga akhirnya persoalan-persoalan rumit semakin ber­kembang dalam hidup sehari-hari (Yulia, 2007).

Pada umumnya, wanita ba­nyak menghadapi masalah psi­kologis karena adanya berbagai perubahan yang dialami saat menikah, antara lain perubahan peran sebagai istri dan ibu ru­mah tangga, bahkan juga sebagai ibu bekerja. (Pujiastuti dan Retnowati, 2000). Wanita yang menjadi istri dan yang bekerja sering hidup dalam pertentangan yang tajam antara perannya di dalam dan di luar ru­mah. Banyak wanita yang bekerja full-time melaporkan bah­wa mereka merasa bersalah karena sepanjang hari meninggalkan rumah. Namun, setiba­nya di rumah mereka merasa tertekan karena tuntutan anak-anak dan suami. Sering sekali timbul perselisihan antara suami-istri yang terus-mene­rus tentang pekerjaan atau gaji siapa yang lebih pen­ting bagi kelangsungan hidup maupun hal lainnya misalnya masalah tanggung jawab dalam mendidik dan merawat anak-anak (Ubaydillah, 2003).


Faktor pendorong Wanita Bekerja

Menurut Yulia (2007), faktor-faktor yang mendasari kebutuhan wanita untuk bekerja di luar rumah adalah :

  1. Tuntutan hidup, ada be­berapa wanita yang bekerja bu­kan karena mereka ingin bekerja tetapi lebih karena tuntutan hidup. Bagaimana mereka tidak bekerja jika gaji suami tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup. Ada suatu tren di kota besar dimana biaya hidup begitu besar sehingga ibu yang bekerja adalah merupakan sua­tu tuntutan zaman.

  2. Pendapatan tambahan un­tuk keleluasan finansial, be­be­rapa wanita berpendapat bahwa jika mereka mempunyai penghasilan sendiri, mereka me­rasa lebih bebas dalam meng­gunakan uang. Mereka bisa mendukung keuangan ke­luarga mereka sendiri seperti memberi uang untuk orang tua, ikut membiayai kuliah adik, memberi sumbangan untuk ke­luarga yang sakit dan lain sebagainya.

  3. Aktualisasi diri dan pres­tise, manusia mempunyai ke­bu­tuhan akan aktualisasi diri, dan menemukan makna hi­dupnya melalui aktivitas yang di­jalaninya. Bekerja ada­lah salah satu sarana yang da­pat dipergunakan oleh ma­nu­sia dalam menemukan mak­na hidupnya.

  4. Pengembangan bakat men­jadi komersial, banyak juga ibu rumah tangga yang menjadi pengusaha atau tokoh terkenal bukan karena mengejar ka­rir tetapi karena dengan sen­dirinya mereka berkembang oleh bakat yang dimilikinya. Ada banyak karir gemilang yang didapat oleh kaum ibu yang bermula dari sekedar ho­bi, seperti hobi menjahit, me­masak, merangkai bunga, bah­kan bergaul dan berbicara.
  5. Kejenuhan di rumah, ada juga para ibu yang rela me­ninggalkan anak-anak di ru­mah bukan karena desakan eko­nomi dan bukan pula karena desakan batin untuk mengaktualisasikan dirinya. Mereka hanyalah ibu-ibu yang merasa bosan jika harus mengurus anak di rumah. Mereka lebih senang jika bisa mempunyai kesibukan dan berkesempatan untuk bercanda ria dengan re­kan-rekan kerja.

Penutup

Wanita yang bekerja memiliki kesadaran untuk harus bisa menjadi ibu yang sabar dan bijaksana bagi anak-anak dan menjadi istri yang baik bagi suami serta menjadi ibu rumah tangga yang bertanggung ja­wab atas keperluan dalam urusan rumah tangga. Di tempat kerja juga mempunyai komitmen dan tanggung jawab atas pe­kerjaan yang dipercayakan ke­padanya sehingga harus me­­nunjukkan prestasi kerja yang baik. Dengan demikian, terjadi keseimbangan untuk menya­tukan keduanya dan hal ini ti­dak mudah, diperlukan usa­ha dan tekad supaya peran ganda wanita dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya.
Se­moga!!

TEORI KECEMASAN

Kecemasan adalah ketegangan, rasa tidak aman dan kekawatiran yang timbul karena dirasakan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan tetapi sumbernya sebagian besar tidak diketahui dan berasal dari dalam (DepKes RI, 1990).
Kecemasan dapat didefininisikan suatu keadaan perasaan keprihatinan, rasa gelisah, ketidak tentuan, atau takut dari kenyataan atau persepsi ancaman sumber aktual yang tidak diketahui atau dikenal (Stuart and Sundeens, 1998).
Kecemasan adalah suatu keadaan yang ditandai dengan perasaan ketakutan yang disertai dengan tanda somatik yang menyatakan terjadinya hiperaktifitas sistem syaraf otonom. Kecemasan adalah gejala yang tidak spesifik yang sering ditemukan dan sering kali merupakan suatu emosi yang normal (Kusuma W, 1997).
Kecemasan adalah respon terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui, internal, samar-samar atau konfliktual (Kaplan, Sadock, 1997).
Teori Kecemasan
Kecemasan merupakan suatu respon terhadap situasi yang penuh dengan tekanan. Stres dapat didefinisikan sebagai suatu persepsi ancaman terhadap suatu harapan yang mencetuskan cemas. Hasilnya adalah bekerja untuk melegakan tingkah laku (Rawlins, at al, 1993). Stress dapat berbentuk psikologis, sosial atau fisik. Beberapa teori memberikan kontribusi terhadap kemungkinan faktor etiologi dalam pengembangan kecemasan. Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut :
a. Teori Psikodinamik
Freud (1993) mengungkapkan bahwa kecemasan merupakan hasil dari konflik psikis yang tidak disadari. Kecemasan menjadi tanda terhadap ego untuk mengambil aksi penurunan cemas. Ketika mekanisme diri berhasil, kecemasan menurun dan rasa aman datang lagi. Namun bila konflik terus berkepanjangan, maka kecemasan ada pada tingkat tinggi. Mekanisme pertahanan diri dialami sebagai simptom, seperti phobia, regresi dan tingkah laku ritualistik. Konsep psikodinamik menurut Freud ini juga menerangkan bahwa kecemasan timbul pertama dalam hidup manusia saat lahir dan merasakan lapar yang pertama kali. Saat itu dalam kondisi masih lemah, sehingga belum mampu memberikan respon terhadap kedinginan dan kelaparan, maka lahirlah kecemasan pertama. Kecemasan berikutnya muncul apabila ada suatu keinginan dari Id untuk menuntut pelepasan dari ego, tetapi tidak mendapat restu dari super ego, maka terjadilah konflik dalam ego, antara keinginan Id yang ingin pelepasan dan sangsi dari super ego lahirlah kecemasan yang kedua. Konflik-konflik tersebut ditekan dalam alam bawah sadar, dengan potensi yang tetap tak terpengaruh oleh waktu, sering tidak realistik dan dibesar-besarkan. Tekanan ini akan muncul ke permukaan melalui tiga peristiwa, yaitu : sensor super ego menurun, desakan Id meningkat dan adanya stress psikososial, maka lahirlah kecemasan-kecemasan berikutnya (Prawirohusodo, 1988).
b. Teori Perilaku
Menurut teori perilaku, Kecemasan berasal dari suatu respon terhadap stimulus khusus (fakta), waktu cukup lama, seseorang mengembangkan respon kondisi untuk stimulus yang penting. Kecemasan tersebut merupakan hasil frustasi, sehingga akan mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang di inginkan.
c. Teori Interpersonal
Menjelaskan bahwa kecemasan terjadi dari ketakutan akan penolakan antar individu, sehingga menyebabkan individu bersangkutan merasa tidak berharga.
d Teori Keluarga
Menjelaskan bahwa kecemasan dapat terjadi dan timbul secara nyata akibat adanya konflik dalam keluarga.
e. Teori Biologik
Beberapa kasus kecemasan (5 - 42%), merupakan suatu perhatian terhadap proses fisiologis (Hall, 1980). Kecemasan ini dapat disebabkan oleh penyakit fisik atau keabnormalan, tidak oleh konflik emosional. Kecemasan ini termasuk kecemasan sekunder (Rockwell cit stuart & sundeens, 1998).

Faktor Predisposisi Kecemasan
Setiap perubahan dalam kehidupan atau peristiwa kehidupan yang dapat menimbulkan keadaan stres disebut stresor. Stres yang dialami seseorang dapat menimbulkan kecemasan, atau kecemasan merupakan manifestasi langsung dari stres kehidupan dan sangat erat kaitannya dengan pola hidup (Wibisono, 1990).
Berbagai faktor predisposisi yang dapat menimbulkan kecemasan (Roan, 1989) yaitu faktor genetik, faktor organik dan faktor psikologi. Pada pasien yang akan menjalani operasi, faktor predisposisi kecemasan yang sangat berpengaruh adalah faktor psikologis, terutama ketidak pastian tentang prosedur dan operasi yang akan dijalani.

Gejala Kecemasan
Penderita yang mengalami kecemasan biasanya memiliki gejala-gejala yang khas dan terbagi dalam beberapa fase, yaitu :
a. Fase 1 
Keadan fisik sebagaimana pada fase reaksi peringatan, maka tubuh mempersiapkan diri untuk fight (berjuang), atau flight (lari secepat-cepatnya). Pada fase ini tubuh merasakan tidak enak sebagai akibat dari peningkatan sekresi hormon adrenalin dan nor adrenalin.
Oleh karena itu, maka gejala adanya kecemasan dapat berupa rasa tegang di otot dan kelelahan, terutama di otot-otot dada, leher dan punggung. Dalam persiapannya untuk berjuang, menyebabkan otot akan menjadi lebih kaku dan akibatnya akan menimbulkan nyeri dan spasme di otot dada, leher dan punggung. Ketegangan dari kelompok agonis dan antagonis akan menimbulkan tremor dan gemetar yang dengan mudah dapat dilihat pada jari-jari tangan (Wilkie, 1985).  Pada fase ini kecemasan merupakan mekanisme peningkatan dari sistem syaraf yang mengingatkan kita bahwa system syaraf fungsinya mulai gagal mengolah informasi yang ada secara benar (Asdie, 1988).
b. Fase 2 (dua)
Disamping gejala klinis seperti pada fase satu, seperti gelisah, ketegangan otot, gangguan tidur dan keluhan perut, penderita juga mulai tidak bisa mengontrol emosinya dan tidak ada motifasi diri (Wilkie, 1985).
Labilitas emosi dapat bermanifestasi mudah menangis tanpa sebab, yang beberapa saat kemudian menjadi tertawa. Mudah menangis yang berkaitan dengan stres mudah diketahui. Akan tetapi kadang-kadang dari cara tertawa yang agak keras dapat menunjukkan tanda adanya gangguan kecemasan fase dua (Asdie, 1988). Kehilangan motivasi diri bisa terlihat pada keadaan seperti seseorang yang menjatuhkan barang ke tanah, kemudian ia berdiam diri saja beberapa lama dengan hanya melihat barang yang jatuh tanpa berbuat sesuatu (Asdie, 1988).
c. Fase 3
Keadaan kecemasan fase satu dan dua yang tidak teratasi sedangkan stresor tetap saja berlanjut, penderita akan jatuh kedalam kecemasan fase tiga. Berbeda dengan gejala-gejala yang terlihat pada fase satu dan dua yang mudah di identifikasi kaitannya dengan stres, gejala kecemasan pada fase tiga umumnya berupa perubahan dalam tingkah laku dan umumnya tidak mudah terlihat kaitannya dengan stres.  Pada fase tiga ini dapat terlihat gejala seperti : intoleransi dengan rangsang sensoris, kehilangan kemampuan toleransi terhadap sesuatu yang sebelumnya telah mampu ia tolerir, gangguan reaksi terhadap sesuatu yang sepintas terlihat sebagai gangguan kepribadian (Asdie, 1988).
Klasifikasi Tingkat Kecemasan
Ada empat tingkat kecemasan, yaitu ringan, sedang, berat dan panik (Townsend, 1996).

  1. Kecemasan ringan; Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan ringan dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, iritabel, lapang persepsi meningkat, kesadaran tinggi, mampu untuk belajar, motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai situasi.
  2. Kecemasan sedang;  Memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada masalah yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang terarah. Manifestasi yang terjadi pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, kecepatan denyut jantung dan pernapasan meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, lahan persepsi menyempit, mampu untuk belajar namun tidak optimal, kemampuan konsentrasi menurun, perhatian selektif dan terfokus pada rangsangan yang tidak menambah ansietas, mudah tersinggung, tidak sabar,mudah lupa, marah dan menangis.
  3. Kecemasan berat;  Sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang dengan kecemasan berat cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berpikir tentang hal lain. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area yang lain. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit kepala, nausea, tidak dapat tidur (insomnia), sering kencing, diare, palpitasi, lahan persepsi menyempit, tidak mau belajar secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri dan keinginan untuk menghilangkan kecemasan tinggi, perasaan tidak berdaya, bingung, disorientasi.
  4. Panik;  Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror karena mengalami kehilangan kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Tanda dan gejala yang terjadi pada keadaan ini adalah susah bernapas, dilatasi pupil, palpitasi, pucat, diaphoresis, pembicaraan inkoheren, tidak dapat berespon terhadap perintah yang sederhana, berteriak, menjerit, mengalami halusinasi dan delusi.

Respon Fisiologis terhadap Kecemasan

  • Kardio vaskuler;  Peningkatan tekanan darah, palpitasi, jantung berdebar, denyut nadi meningkat, tekanan nadi menurun, syock dan lain-lain.
  • Respirasi;  napas cepat dan dangkal, rasa tertekan pada dada, rasa tercekik.
  • Kulit:  perasaan panas atau dingin pada kulit, muka pucat, berkeringat seluruh tubuh, rasa terbakar pada muka, telapak tangan berkeringat, gatal-gatal.
  • Gastro intestinal;  Anoreksia, rasa tidak nyaman pada perut, rasa terbakar di epigastrium, nausea, diare.
  • Neuromuskuler;  Reflek meningkat, reaksi kejutan, mata berkedip-kedip, insomnia, tremor, kejang, , wajah tegang, gerakan lambat.
Respon Psikologis terhadap Kecemasan

  • Perilaku;  Gelisah, tremor, gugup, bicara cepat dan tidak ada koordinasi, menarik diri, menghindar.
  • Kognitif;  Gangguan perhatian, konsentrasi hilang, mudah lupa, salah tafsir, bloking, bingung, lapangan persepsi menurun, kesadaran diri yang berlebihan, kawatir yang berlebihan, obyektifitas menurun, takut kecelakaan, takut mati dan lain-lain.
  • Afektif;  Tidak sabar, tegang, neurosis, tremor, gugup yang luar biasa, sangat gelisah dan lain-lain.

Empty Nest Syndrome

Bassof (Santrock, 1995) mengemukakan bahwa salah satu peristiwa penting dalam keluarga adalah beranjaknya seorang anak dalam kehidupan dewasa, karir atau membentuk keluarga baru yang terlepas dari keluarga tempatnya berasal. Wiryasaputra (2007) mengemukakan bahwa hal ini merupakan waktu yang tepat bagi anak untuk pergi keluar meninggalkan rumah, sekaligus waktu yang tepat juga bagi orangtua untuk melepaskan anak.
Tahap ini memang rasanya berat, baik bagi anak maupun orangtua karena dapat menimbulkan kecemasan, kehilangan, dan kesedihan. Banyak orangtua dan anak menolak untuk berubah karena tidak ingin kehilangan dan sedih. Lebih baik memelihara keseimbangan yang sudah ada dan tidak ingin menyesuaikan diri serta menciptakan keseimbangan baru, sehingga anak kadang kurang berani mengambil keputusan untuk pergi. Kadang, ada juga orangtua kurang tega dengan berbagai alasan. Memang, kedua belah pihak harus belajar bahwa pergi dan membiarkan pergi itu, bukan akhir dari segala-galanya. Sistem keluarga harus membuka diri, menjangkau dunia luar, sampai daerah yang tidak terbatas jaraknya, sehingga orang tua menghadapi penyesuaian baru karena ketidakseimbangan akibat ketiadaan anak.
Sindrom Sarang Kosong (Empty-nest Syndrome)
Sarang Kosong atau Empty-nest Syndrome (Webber dan Delvin, 2005) adalah kondisi psikologi yang dialami oleh orang tua (terutama oleh para ibu) ketika mereka mulai beranjak dewasa dan meninggalkan rumah. Hal ini dapat disebabkan karena anak tersebut telah memasuki usia kuliah ataupun anak tersebut telah menikah.
Kebanyakan orang tua harus menyadari bahwa merupakan hal normal untuk merasa sedih ketika mereka sedang mempersiapkan anaknya untuk memasuki bangku kuliah dan meninggalkan rumah. Merupakan hal yang normal pula untuk menangis ketika orang tua tidak lagi dapat mengatur anak, atau berharap anak dapat membuat keputusan yang baik dan benar di dunia luar. Hal ini juga normal jika ingin menghabiskan waktunya di kamar anak, agar orang tua tersebut merasa lebih dekat dengan sang anak (Clark, 2007). Bagi para orang tua, sebaiknya jangan malu dengan hal tersebut, karena hal itu adalah wajar-wajar saja. Namun jika orang tua merasa tidak berguna lagi, menangis secara berlebihan, merasa sangat bersedih hingga tidak ingin berkumpul dengan para sahabat atau pergi bekerja, maka orang tersebut sebaiknya meminta bantuan profesional, terutama jika simptom-simptom tersebut berlangsung lebih dari seminggu (Webber & Delvin, 2005).
Para orang tua terkadang tidak menyadari bahwa ketika anak mereka meninggalkan rumah, banyak keuntungan yang dapat mereka peroleh. Hal ini merupakan suatu kesempatan yang baik untuk memulai hobi baru atau kegiatan lain untuk membantu orang tua menghabiskan waktu. Orang tua juga dapat memulai sebuah pekerjaan baru atau dapat memulai suatu perjalanan (liburan). Ketika orang tua mengabaikan kenyataan bahwa anak mereka tidak lagi berada di rumah, maka mereka dapat menikmati hal-hal baru yang tidak mereka peroleh ketika masih menjaga anak ataupun merawat anak (Clark, 2007).
Transisi menjadi orang tua dari anak yang berusia remaja dan anak yang telah dewasa merupakan salah satu hal yang sulit. Disamping untuk tetap fokus pada peran yang mereka mainkan dalam kehidupan anak, orang tua juga harus tetap fokus pada kehidupan mereka. Witmer (2007) mengemukakan beberapa cara mencegah sekaligus mengatasi sindrom sarang kosong, yaitu sebagai berikut:
Mengerjakan sesuatu
Melakukan kerja sosial, mengikuti sebuah kelas, menemukan sebuah hobi baru atau melakukan apa saja pada waktu luang secara teratur dapat menghindarkan para orang tua dari rutinitas yang membosankan.
Berlibur
Para orang tua dapat melakukan suatu perjalanan (liburan) bersama pasangannya, membicarakan masa depan, serta membuat rencana. Hal ini dapat disebut sebagai bulan madu kedua, dimana mereka dapat memulai bagian kedua dari hubungan mereka.
Membuat paket yang berguna
Para orang tua juga dapat melakukan hal-hal yang dapat membantu anak mereka, misalnya saja membelikan bahan makanan atau pelengkapan mandi untuk tempat tinggal anak yang baru. Selain menambah kesibukan, hal ini juga dapat membuat anak senang dan tetap menjaga hubungan antara orang tua-anak.
Memberi selamat pada diri sendiri
Meskipun pekerjaan sebagai orang tua tidak akan pernah selesai, namun paling tidak mereka telah menyelesaikan salah satu tugasnya sebagai orang tua. Mereka telah berhasil membesarkan anak, dimana hal tersebut bukanlah hal yang mudah. Para orang tua sebaiknya memberikan applause terhadap apa yang telah mereka lakukan sebagai penyemangat dalam hidup mereka.
Memperoleh dukungan
Jika mereka mengalami masa yang sulit dan mengalami depresi, sebaiknya segera meminta bantuan (memperoleh dukungan) dari pasangannya, saudara, sahabat (yang mengalami masalah yang sama) ataupun dari psikolog.

EMPTY NEST SYNDROME PADAWANITA USIA DEWASA MADYA

Banyak orang tua beranggapan, tugas mereka sebagai orang tua berakhir sesaat setelah anak-anak pergi meninggalkan rumah, untuk menjalani kehidupan mereka masing-masing. Anggapan ini membuat banyak orang tua yang menjadi stres ketika masa itu hampir tiba. Akibatnya, masa tua menjadi masa yang “tampaknya” tidak menyenangkan, terutama bagi para ibu, yang merasa kehilangan arti atau makna hidup setelah selama sepuluh tahun, dirinya memiliki peran sentral dalam kehidupan anak-anak.
Dalam hal ini Roading & Santrock (1991:277) menjelaskan bahwa kondisi semacam itu akan datang dalam kehidupan pasangan ketika anak-anak mereka menjadi mandiri dan mulai bisa mencari kebutuhannya sendiri dan mereka telah lepas dari keluarga/orangtua. Ketika anak yang mulai dewasa mulai meninggalkan rumah, beberapa orangtua mengalami perasaan kehilangan yang mendalam atau beberapa orangtua tersebut akan mengalami “empty nest syndrome”.
Empty nest syndrome pada usia madya adalah sindrome yang terjadi pada usia dewasa madya karena anak-anak telah dewasa dan mandiri meninggalkan rumah untuk bekerja, menikah, merantau atau kuliah. Seperti dijelaskan oleh Herati (2000: 2) bahwa empty nest syndrome atau syndrome sarang kosong adalah rasa kosong yang biasa terjadi ketika anak-anak sudah mulai keluar rumah dan seorang ibu merasa tidak terlalu dibutuhkan lagi oleh keluarganya.
Fase empty nest pada usia dewasa madya tidak selamanya menyebabkan seseorang mengalami sindrome, tetapi fase empty nest bisa dianggap sebagai suatu keberhasilan dalam menjalankan tugas-tugas sebagai orangtua. Hal ini didukung oleh Feldman (1989:363) menyatakan bahwa untuk beberapa orang, empty nest dapat diterima karena pasangan mendapatkan kembali kebebasan mereka. Bagi
yang lainnya, bagaimanapun masa ini tidak terlalu membahagiakan. Bagi yang hidup berpusat pada keluarga, kepergian anak-anak bisa jadi merupakan hasil dari tugas mereka dalam mengurus anak-anak telah selesai.
Tidak heran jika bagi orangtua yang “tidak memiliki” kesibukan di usia madyanya, maka “empty nest syndrome” ini menjadi suatu gangguan yang mengakibatkan mereka mengalami kekosongan. Misalkan saja seperti diceritakan oleh Ny. Farida Djoko Sanyoto bahwa “Ny Farida di rumahnya hanya tinggal bersama suami dan satu anaknya yang sudah bekerja, dan saati itu juga dia merasa rumahnya mulai kosong, rumah terasa kosong setekah anak-anak semakin jarang berada dirumah, dan Ny Farida mengakui bahwa saat itu dia mengalami
kekosongan dalam rumah tangganya, namun karena dia mendapat dukungan dari anak dan suaminya untuk melanjutkan kuliahnya pada Program Pasca Sarjana  Kajian Wanita di Universitas Indonesia, maka sejak itu, Ny. Farida memiliki kesibukan lain sehingga kekosongan yang pernah dialaminya waktu itu agak berkurang” (Kompas, Minggu, 13 Agustus 2000).
Sementara Duberman 1974 (dalam Feldman, 1989: 363) menyatakan bahwa ada yang mungkin untuk menjadi perubahan yang besar dalam kualitas pernikahan hanya karena anak-anak telah dewasa. Pernikahan yang memuaskan adalah ketika anak-anak masih di rumah, di mana ketidakpuasan pernikahan ditimbulkan karena adanya permasalahan lain dalam pernikahan yang berkelanjutan.
Hal tersebut juga dipertegas oleh Bassoff (dalam Santrock, 2002: 162), bahwa sebuah peristiwa penting dalam keluarga adalah beranjaknya seorang anak ke dalam kehidupan dewasa, karir atau keluarga yang terlepas dari keluarga tempat dia berasal. Orang tua menghadapi penyesuaian baru karena ketidakseimbangan akibat ketidakadaan anak.
Selanjutnya Santrock (2002:162) menjelaskan bahwa: “Sindrom sarang kosong (empty nest syndrome) menyatakan bahwa kepuasan pernikahan akan mengalami penurunan karena orang tua memperoleh banyak kepuasan dari anak-anaknya, dan oleh karena itu, kepergian anak dari keluarga akan meninggalkan orang tua dengan perasaan kosong. Meskipun sindrom sarang kosong tersebut berlaku bagi beberapa orang tua yang hidup melalui anak-anaknya, sarang yang kosong tersebut biasanya tidak menurunkan kepuasan pernikahan. Melainkan, sebaliknya yang terjadi, kepuasan pernikahan meningkat pada tahun-tahun pasca membesarkan anak “.
Kasus di atas, menurut Persitarini (dalam kliping Bidang Psikologi, Tahun III no. 4 1999 : 106 dari perpustakaan Universitas Muhammadiyah Surakarta) banyak dirasakan oleh orangtua ketika anak-anaknya berkembang dewasa dan kemudian mereka keluar dari rumah, entah untuk sekolah maupun karena telah berkeluarga, dalam perkembangannya ternyata bisa terjadi pada siapa saja,
termasuk anak-anak”.
Lilian (dalam Kompas, Minggu13 Agustus 2000) dalam penelitiannya terhadap perempuan Amerika menemukan, perempuan yang hanya melakukan tugas tradisionalnya secara eksklusif di rumah dan tidak memiliki kegiatan lain di luar rumah, menderita sindroma lebih parah, bahkan sampai ketingkat depresi karena “rasa tidak dibutuhkan lagi” yang sedemikian pekat. Pada perempuan yang memiliki kegiatan lain diluar rumah, sindroma itu menjadi lebih cair.
Penelitian terdahulu dibuat pada tahun 1980 oleh Antonucci, Tamir dan Dubnoff (dalam Rini, 2004:1), menyebutkan bahwa pada usia antara 30 sampai 40-an tahun, terlihat adanya peningkatan stres dan depresi diantara para wanita, justru ketika anak-anak masih di rumah. Pada saat empty nest tiba, stres, depresi, kecemasan, dan kekhawatiran malah berkurang dan pada umumnya terjadi peningkatan material satisfaction. Ketika para responden itu dihadapkan pada pertanyaan tentang masa transisi itu, mereka cenderung memberi jawaban bahwakepergian anak (untuk menjadi mandiri), justru merupakan masa transisi yang positif dari pada negatif. Mengapa demikian? Karena para responden memiliki kesempatan dan peluang untuk kembali bekerja, kembali menekuni hobi, kembali aktif dalam organisasi, atau bahkan ada yang kembali ke sekolah (dalam Rini,2004:1).
Penelitian yang dilakukan oleh De Vries (dalam Rini, 2004:1) memperlihatkan bahwa, kegagalan anak-anak untuk menghadapi dan mengatasi
masa transisi mereka sendiri (untuk berhasil mandiri dan dewasa), turut menjadi faktor yang menentukan kepuasan dan kebahagiaan orang tua di dalam menjalani kesendirian pada masa paruh baya ini. Kegagalan anak untuk mandiri, membuat para i bu dan orang tua merasa gagal dalam peranannya sebagai orang tua, merasa bersalah, merasa bertanggung jawab dan enggan untuk merealisasikan rencana
ataupun keinginan yang dibuat sebelumnya ketika pada masa paruh baya ini muncul gejala-gejala yang bisa memicu timbulnya syndrome empty nest yang pada akhirnya dapat menjadi pemicu stres atau depresi bagi para orang tua tersebut. Begitu juga sebaliknya, mereka malah menganggap bahwa pada masa ini merupakan masa yang menyenangkan atau berdampak positif bagi mereka karena
mereka merasa telah berkurang stresor atau tekanan yang muncul ketika orang tua dan anak masih tinggal satu rumah dan justru pada masa itu mendatangkan manfaat lain, bisa menentukan kepuasan dan kebahagiaan orang tua dalam menjalani fase usia dewasa madya ini.
Hal tersebut juga dikuatkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Australian Psychological Society yang menyarankan kepada orang tua agar tidak berlebihan dalam menghadapi empty nest syndrome (APS, 2004:1) Dari hasil penelitian tersebut juga diketahui bahwa orang tua yang mengalami empty nest syndrome seringkali mengalami kesulitan dan perasaan tidak mengenakan setelah anak-anak mereka keluar dari rumah. Penderitaan tersebut menjadi suatu lembaran hidup yang seharusnya mereka lupakan untuk hidup menyenangkan menjelang masa menopause, masa pensiun dan sebagainya. Menurut Natalie dijelaskan bahwa cara mengatasi hal tersebut dapat dilakukan dengan cara mencari kesibukan seperti rekreasi, shoping, bekerja sehingga menemukan kembali makna kehidupan dan terhindar dari empty nest syndrome yang berlebihan (Natalie, 2004:1).
Peneliti tertarik mengungkap permasalahan empty nest syndrome karena peneliti ingin mengetahui masalah ini lebih jelas karena sindroma ini merupakan permasalahan yang rentan terjadi pada usia dewasa madya. Sindrome ini cenderung diabaikan padahal masalah ini akan menyebabkan gangguan emosional jika tidak diselesaikan dan akan mengganggu seseorang melewati tugas-tugas perkembangan pada masa usia dewasa madya menuju tahap perkembangan selanjutnya. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraiakan di atas tersebut,
peneliti tertarik untuk menindaklanjutinya ke dalam bentuk penelitian dalam judul “Empty Nest Syndrome pada Wanita Usia Dewasa Madya”.

Minggu, 17 Februari 2013

Down syndrome

Sindrom Down (bahasa Inggris: Down syndrome) merupakan kelainan genetik yang terjadi pada kromosom 21 pada berkas q22 gen SLC5A3,[1] yang dapat dikenal dengan melihat manifestasi klinis yang cukup khas. Kelainan yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental ini pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh Dr.John Longdon Down. Karena ciri-ciri yang tampak aneh seperti tinggi badan yang relative pendek, kepala mengecil, hidung yang datar menyerupai orang Mongoloid maka sering juga dikenal dengan mongolisme. Pada tahun 1970an para ahli dari Amerika dan Eropa merevisi nama dari kelainan yang terjadi pada anak tersebut dengan merujuk penemu pertama kali sindrom ini dengan istilah sindrom Down dan hingga kini penyakit ini dikenal dengan istilah yang sama.

Daftar isi

Gejala atau tanda-tanda

Gejala yang muncul akibat sindrom down dapat bervariasi mulai dari yang tidak tampak sama sekali, tampak minimal sampai muncul tanda yang khas.
Penderita dengan tanda khas sangat mudah dikenali dengan adanya penampilan fisik yang menonjol berupa bentuk kepala yang relatif kecil dari normal (microchephaly) dengan bagian anteroposterior kepala mendatar. Pada bagian wajah biasanya tampak sela hidung yang datar, mulut yang mengecil dan lidah yang menonjol keluar (macroglossia). Seringkali mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan (epicanthal folds). Tanda klinis pada bagian tubuh lainnya berupa tangan yang pendek termasuk ruas jari-jarinya serta jarak antara jari pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki melebar.
Sementara itu lapisan kulit biasanya tampak keriput (dermatoglyphics). Kelainan kromosom ini juga bisa menyebabkan gangguan atau bahkan kerusakan pada sistem organ yang lain.
Pada bayi baru lahir kelainan dapat berupa congenital heart disease. kelainan ini yang biasanya berakibat fatal karena bayi dapat meninggal dengan cepat. Pada sistem pencernaan dapat ditemui kelainan berupa sumbatan pada esofagus (esophageal atresia) atau duodenum (duodenal atresia).
Apabila anak sudah mengalami sumbatan pada organ-organ tersebut biasanya akan diikuti muntah-muntah. Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan. Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan sindrom down atau mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki risiko melahirkan anak dengan sindrom down lebih tinggi.
Pada otak penderita sindrom Down, ditemukan peningkatan rasio APP (bahasa Inggris: amyloid precursor protein)[2] seperti pada penderita Alzheimer.

Definisi sindrom down

Sindrom down adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan.

Pencegahan

Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan. Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan sindrom down atau mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki risiko melahirkan anak dengan sindrom down lebih tinggi. Sindrom down tidak bisa dicegah, karena DS merupakan kelainan yang disebabkan oleh kelainan jumlah kromosom. Jumlsh kromosm 21 yang harusnya cuma 2 menjadi 3. Penyebabnya masih tidak diketahui pasti, yang dapat disimpulkan sampai saat ini adalah makin tua usia ibu makin tinggi risiko untuk terjadinya DS.Diagnosis dalam kandungan bisa dilakukan, diagnosis pasti dengan analisis kromosom dengan cara pengambilan CVS (mengambil sedikit bagian janin pada plasenta) pada kehamilan 10-12 minggu) atau amniosentesis (pengambilan air ketuban) pada kehamilan 14-16 minggu.

Pemeriksaan diagnostik

Untuk mendeteksi adanya kelainan pada kromosom, ada beberapa pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosa ini, antara lain:
  • Pemeriksaan fisik penderita
  • Pemeriksaan kromosom
  • Ultrasonografi (USG)
  • Ekokardiogram (ECG)
  • Pemeriksaan darah (Percutaneus Umbilical Blood Sampling)

Penatalaksanaan

Sampai saat ini belum ditemukan metode pengobatan yang paling efektif untuk mengatasi kelainan ini. Pada tahap perkembangannya penderita Down syndrom juga dapat mengalami kemunduran dari sistem penglihatan, pendengaran maupun kemampuan fisiknya mengingat tonus otot-otot yang lemah. Dengan demikian penderita harus mendapatkan dukungan maupun informasi yang cukup serta kemudahan dalam menggunakan sarana atau fasilitas yang sesuai berkaitan dengan kemunduran perkembangan baik fisik maupun mentalnya. Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita untuk mengoreksi adanya defek pada jantung, mengingat sebagian besar penderita lebih cepat meninggal dunia akibat adanya kelainan pada jantung tersebut. Dengan adanya leukemia akut menyebabkan penderita semakin rentan terkena infeksi, sehingga penderita ini memerlukan monitoring serta pemberian terapi pencegah infeksi yang adekuat. Mahanta Aldiano

http://id.wikipedia.org/wiki/Sindrom_Down

Cerebral Palsy

Lumpuh otak (bahasa Inggris: cerebral palsy, spastic paralysis, spastic hemiplegia, spastic diplegia, spastic quadriplegia, CP) adalah suatu kondisi terganggunya fungsi otak dan jaringan saraf yang mengendalikan gerakan, laju belajar, pendengaran, penglihatan, kemampuan berpikir.[1]
Penyebab lumpuh otak sampai saat ini belum dapat dipastikan,[2] banyak orang beranggapan bahwa CP disebabkan oleh karena:

Daftar isi

Jenis-jenis lumpuh otak

Secara umum lumpuh otak dikelompokkan dalam empat jenis yaitu:
  • Spastik (tipe kaku-kaku) dialami saat penderita terlalu lemah atau terlalu kaku. Jenis ini adalah jenis yang paling sering muncul. Sekitar 65 persen penderita lumpuh otak masuk dalam tipe ini.
  • Atetoid terjadi dimana penderita yang tidak bisa mengontrol gerak ototnya, biasanya mereka punya gerakan atau posisi tubuh yang tidak biasa.
  • Kombinasi adalah campuran spastic dan athetoid.
  • Hipotonis terjadi pada anak-anak dengan otot-otot yang sangat lemah sehingga seluruh tubuh selalu terkulai. Biasanya berkembang menjadi spastic atau athetoid.
Lumpuh otak juga bisa berkombinasi dengan gangguan epilepsi, mental, belajar, penglihatan, pendengaran, maupun bicara.

Ciri-ciri

Gejala lumpuh otak sudah bisa diketahui saat bayi berusia 3-6 bulan, yakni saat bayi mengalami keterlambatan perkembangan.
Ciri umum dari anak lumpuh otak adalah:
  • Perkembangan motorik yang terlambat.
  • Refleks yang seharusnya menghilang tapi masih ada seperti:
    • Refleks menggenggam hilang saat bayi berusia 3 bulan
    • Bayi yang berjalan jinjit atau merangkak dengan satu kaki diseret.

Terapi

Sampai saat ini belum ada obat yang bisa menyembuhkan lumpuh otak. Namun tetap ada harapan untuk mengoptimalkan kemampuan anak lumpuh otak dan membuatnya mandiri dengan terapi.
Terapi yang diberikan pada penderita lumpuh otak akan disesuaikan dengan:
  • Usia anak
  • Berat/ ringan penyakit
  • Menimbang dari area pada otak mana yang rusak.
Meski ada bagian otak yang rusak, namun sel-sel yang bagus akan menutupi sel-sel yang rusak, dengan cara mengoptimalkan bagian otak yang sehat seperti pemberian rangsangan agar otak anak berkembang baik. Rangsangan/ stimulasi otak secara intensif bisa dilakukan melalui panca indera. Salah satu cara adalah dengan Compensatory Dendrite Sprouting yaitu rangsangan agar dendrit tersebar dengan berimbang.
Beberapa orangtua yang memiliki anak penderita lumpuh otak mengaku berhasil mengoptimalkan kemampuan anaknya lewat metode Glenn Doman . Metode ini digunakan untuk anak dengan cedera otak berupa patterning (pola) untuk melatih :
  • Gerakan kaki dan tangan (merayap, merangkak)
  • Menghirup oksigen (masking) untuk melatih paru-paru agar membesar.
Sejak tahun 1998, lebih dari 1700 anak cedera otak mengalami perbaikan cukup berarti setelah melakukan terapi ini.

AUTISME

Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993). Menurut Power (1989) karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 6 gangguan dalam bidang:
Gejala ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak berusia 3 tahun.
Autisme dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder R-IV merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PDD (Pervasive Development Disorder) di luar ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan ADD (Attention Deficit Disorder). Gangguan perkembangan perpasiv (PDD) adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan beberapa kelompok gangguan perkembangan di bawah (umbrella term) PDD, yaitu:
  1. Autistic Disorder (Autism) Muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan adanya hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain secara imaginatif serta adanya perilaku stereotip pada minat dan aktivitas.
  2. Asperger’s Syndrome Hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat dan aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata.
  3. Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS) Merujuk pada istilah atypical autism, diagnosa PDD-NOS berlaku bila seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme, Asperger atau Rett Syndrome).
  4. Rett’s Syndrome Lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi pada anak laki-laki. Sempat mengalami perkembangan yang normal kemudian terjadi kemunduran/kehilangan kemampuan yang dimilikinya; kehilangan kemampuan fungsional tangan yang digantikan dengan gerakkan-gerakkan tangan yang berulang-ulang pada rentang usia 1 – 4 tahun.
  5. Childhood Disintegrative Disorder (CDD) Menunjukkan perkembangan yang normal selama 2 tahun pertama usia perkembangan kemudian tiba-tiba kehilangan kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya.
Diagnosa Pervasive Develompmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD – NOS) umumnya digunakan atau dipakai di Amerika Serikat untuk menjelaskan adanya beberapa karakteristik autisme pada seseorang (Howlin, 1998: 79). National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) di Amerika Serikat menyatakan bahwa Autisme dan PDD – NOS adalah gangguan perkembangan yang cenderung memiliki karakteristik serupa dan gejalanya muncul sebelum usia 3 tahun. Keduanya merupakan gangguan yang bersifat neurologis yang memengaruhi kemampuan berkomunikasi, pemahaman bahasa, bermain dan kemampuan berhubungan dengan orang lain. Ketidakmampuan beradaptasi pada perubahan dan adanya respon-respon yang tidak wajar terhadap pengalaman sensoris seringkali juga dihubungkan pada gejala autisme.

Daftar isi

Diagnosis

Secara historis, diagnosa autisme memiliki persoalan; suatu ketika para ahli dan peneliti dalam bidang autisme bersandarkan pada ada atau tidaknya gejala, saat ini para ahli dan peneliti tampaknya berpindah menuju berbagai karakteristik yang disebut sebagai continuum autism. Aarons dan Gittents (1992) merekomendasikan adanya descriptive approach to diagnosis. Ini adalah suatu pendekatan deskriptif dalam mendiagnosa sehingga menyertakan pengamatan-pengamatan yang menyeluruh di setting-setting sosial anak sendiri. Settingya mungkin di sekolah, di taman-taman bermain atau mungkin di rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak dimana hambatan maupun kesulitan mereka tampak jelas di antara teman-teman sebaya mereka yang ‘normal’.
Persoalan lain yang memengaruhi keakuratan suatu diagnosa seringkali juga muncul dari adanya fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh yang kurang tepat. Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan hasil dari dinamika keluarga yang negatif dan bukan sebagai gejala dari adanya gangguan. Adanya interpretasi yang salah dalam memaknai penyebab mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang tua. Pertanyaan selanjutnya kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat dan konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan kondisi-kondisi yang semakin memperburuk? Perlu adanya sebuah model diagnosa yang menyertakan keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan kesulitan anak sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan anak sendiri. Mungkin tepat bila kemudian disarankan agar para profesional di bidang autisme juga mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan awal anak, penampilan anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak, fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan konsep-konsep dasar, kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan lain sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak sendiri.
Bagi para orang tua dan keluarga sendiri perlu juga dicatat bahwa gejala autisme bersifat individual; akan berbeda satu dengan lainnya meskipun sama-sama dianggap sebagai low functioning atau dianggap sebagai high functioning. Membutuhkan kesabaran untuk menghadapinya dan konsistensi untuk dalam penanganannya sehingga perlu disadari bahwa bahwa fenomena ini adalah suatu perjalanan yang panjang. Jangan berhenti pada ketidakmampuan anak tetapi juga perlu menggali bakat-bakat serta potensi-potensi yang ada pada diri anak. Sebagai inspirasi kiranya dapat disebutkan beberapa penyandang autisme yang mampu mengembangkan bakat dan potensi yang ada pada diri mereka, misalnya: Temple Grandine yang mampu mengembangkan kemampuan visual dan pola berpikir yang sistematis sehingga menjadi seorang Doktor dalam bidang peternakan, Donna William yang mampu mengembangkan kemampuan berbahasa dan bakat seninya sehingga dapat menjadi seorang penulis dan seniman, Bradley Olson seorang mahasiswa yang mampu mengembangkan kemampuan kognitif dan kebugaran fisiknya sehingga menjadi seorang pemuda yang aktif dan tangkas dan mungkin masih banyak nama-nama lain yang dapat menjadi sumber inspirasi kita bersama. Pada akhirnya, sebuah label dari suatu diagnosa dapat dikatakan berguna bila mampu memberikan petunjuk bagi para orang tua dan pendidik mengenai kondisi alamiah yang benar dari seorang anak. Label yang menimbukan kebingungan dan ketidakpuasan para orang tua dan pendidik jelas tidak akan membawa manfaat apapun.

Simtoma klinis

Anak dengan autisme dapat tampak normal pada tahun pertama maupun tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap rangsangan-rangasangan dari kelima panca inderanya (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan). Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari, menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan. Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah sangat pasif. Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga selalu melekat pada para penyandang autisme adalah respon-respon yang tidak wajar terhadap informasi sensoris yang mereka terima, misalnya; suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka.
Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat sekalipun.
  1. Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
  2. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
  3. Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
  4. Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
  5. Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu
Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa di antaranya ada yang tidak 'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia). Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat individualitas yang unik dari individu-individu penyandangnya.
Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para orang tua dan para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :
  1. Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan
  2. Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada, menggenggam) hingga usia 12 bulan
  3. Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
  4. Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
  5. Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu
Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang autisme tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka seorang anak harus mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan profesi lainnya yang memahami persoalan autisme.

Simtoma klinis menurut DSM IV

A. Interaksi Sosial (minimal 2):
  1. Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka, posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju
  2. Kesulitan bermain dengan teman sebaya
  3. Tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat
  4. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah
B. Komunikasi Sosial (minimal 1):
  1. Tidak/terlambat bicara, tidak berusaha berkomunikasi non verbal
  2. Bisa bicara tapi tidak untuk komunikasi/inisiasi, egosentris
  3. Bahasa aneh & diulang-ulang/stereotip
  4. Cara bermain kurang variatif/imajinatif, kurang imitasi social
C. Imaginasi, berpikir fleksibel dan bermain imaginatif (minimal 1):
  1. Mempertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan, baik intensitas dan fokusnya
  2. Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak berguna
  3. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian tertentu dari suatu benda
Seorang anak penderita autisme, dengan jajaran mainan yang ia buat
Gejala autisme dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate) hingga parah (severe), sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya. Parah atau ringannya gangguan autisme sering kemudian di-paralel-kan dengan keberfungsian. Dikatakan oleh para ahli bahwa anak-anak dengan autisme dengan tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak berbicara (nonverbal), memiliki perilaku menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan maka mereka diklasifikasikan sebagai low functioning autism. Sementara mereka yang menunjukkan fungsi kognitif dan intelegensi yang tinggi, mampu menggunakan bahasa dan bicaranya secara efektif serta menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas yang umum diklasifikasikan sebagai high functioning autism. Dua dikotomi dari karakteristik gangguan sesungguhnya akan sangat berpengaruh pada implikasi pendidikan maupun model-model treatment yang diberikan pada para penyandang autisme. Kiranya melalui media ini penulis menghimbau kepada para ahli dan paktisi di bidang autisme untuk semakin mengembangkan strategi-strategi dan teknik-teknik pengajaran yang tepat bagi mereka. Apalagi mengingat fakta dari hasil-hasil penelitian terdahulu menyebutkan bahwa 80% anak dengan autisme memiliki intelegensi yang rendah dan tidak berbicara atau nonverbal. Namun sekali lagi, apapun diagnosa maupun label yang diberikan prioritasnya adalah segera diberikannya intervensi yang tepat dan sungguh-sungguh sesuai dengan kebutuhan mereka.
Referensi baku yang digunakan secara universal dalam mengenali jenis-jenis gangguan perkembangan pada anak adalah ICD (International Classification of Diseases) Revisi ke-10 tahun 1993 dan DSM (Diagnostic And Statistical Manual) Revisi IV tahun 1994 yang keduanya sama isinya. Secara khusus dalam kategori Gangguan Perkembangan Perpasiv (Pervasive Developmental Disorder/PDD): Autisme ditunjukkan bila ditemukan 6 atau lebih dari 12 gejala yang mengacu pada 3 bidang utama gangguan, yaitu: Interaksi Sosial – Komunikasi – Perilaku.
Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti dari berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral maupun komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa instrumen screening yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk mendiagnosa autisme:
  • Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa kanak-kanak yang dibuat oleh Eric Schopler pada awal tahun 1970 yang didasarkan pada pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan komunikasi verbal
  • The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan autisme pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18 bulan, dikembangkan oleh Simon Baron Cohen pada awal tahun 1990-an.
  • The Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40 skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi kemampuan komunikasi dan sosial mereka
  • The Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screening autisme bagi anak usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan pada 3 bidang kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor dan konsentrasi.
Diagnosa yang akurat dari Autisme maupun gangguan perkembangan lain yang berhubungan membutuhkan pengamatan yang menyeluruh terhadap: perilaku anak, kemampuan komunikasi dan kemampuan perkembangan lainnya. Akan sangat sulit mendiagnosa karena adanya berbagai macam gangguan yang terlihat. Observasi dan wawancara dengan orang tua juga sangat penting dalam mendiagnosa. Evaluasi tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu memungkinkan adanya standardisasi dalam mendiagnosa. Tim dapat terdiri dari neurolog, psikolog, pediatrik, paedagog, patologis ucapan/kebahasaan, okupasi terapi, pekerja sosial dan lain sebaginya.

Penanganan autisme di Indonesia

Intensitas dari treatment perilaku pada anak dengan autisme merupakan hal penting, namun persoalan-persoalan mendasar yang ditemui di Indonesia menjadi sangat krusial untuk diatasi lebih dahulu. Tanpa mengabaikan faktor-faktor lain, beberapa fakta yang dianggap relevan dengan persoalan penanganan masalah autisme di Indonesia di antaranya adalah:
  1. Kurangnya tenaga terapis yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi pelopor dalam proses intervensi sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi bagi anak dengan autisme dibangun berdasarkan kepentingan keluarga untuk menjamin kelangsungan pendidikan anak mereka sendiri.
  2. Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup dengan hanya mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang penerapannya tidak selalu sesuai dengan kultur kehidupan anak-anak Indonesia.
  3. Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga ketika anak menjadi semakin besar maka semakin kompleks pula persoalan intervensi yang dihadapi orang tua. Para ahli yang mampu mendiagnosa autisme, informasi mengenai gangguan dan karakteristik autisme serta lembaga-lembaga formal yang memberikan layanan pendidikan bagi anak dengan autisme belum tersebar secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.
  4. Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di sekolah. Dalam Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah diamanatkan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dukungan ini membuka peluang yang besar bagi para penyandang autisme untuk masuk dalam sekolah-sekolah umum (inklusi) karena hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan inklusi.
  5. Permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya pengetahuan baik secara klinis maupun praktis yang didukung dengan validitas data secara empirik (Empirically Validated Treatments/EVT) dari penanganan-penanganan masalah autisme di Indonesia. Studi dan penelitian autisme selain membutuhkan dana yang besar juga harus didukung oleh validitas data empirik, namun secara etis tentunya tidak ada orang tua yang menginginkan anak mereka menjadi percobaan dari suatu metodologi tertentu. Kepastian dan jaminan bagi proses pendidikan anak merupakan pertimbangan utama bagi orang tua dalam memilih salah satu jenis treatment bagi anak mereka sehingga bila keraguan ini dapat dijawab melalui otoritas-otoritas ilmiah maka semakin terbuka informasi bagi masyarakat luas mengenai pengetahuan-pengetahuan baik yang bersifat klinis maupun praktis dalam proses penanganan masalah autisme di Indonesia.

Terapi Bagi Individu dengan Autisme

Bila ada pertanyaan mengenai terapi apa yang efektif? Maka jawaban atas pertanyaan ini sangat kompleks, bahkan para orang tua dari anak-anak dengan autisme pun merasa bingung ketika dihadapkan dengan banyaknya treatment dan proses pendidikan yang ditawarkan bagi anak mereka. Beberapa jenis terapi bersifat tradisional dan telah teruji dari waktu ke waktu sementara terapi lainnya mungkin baru saja muncul. Tidak seperti gangguan perkembangan lainnya, tidak banyak petunjuk treatment yang telah dipublikasikan apalagi prosedur yang standar dalam menangani autisme. Bagaimanapun juga para ahli sependapat bahwa terapi harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada hambatan maupun keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap anak autis, misalnya; komunikasi dan persoalan-persolan perilaku. Treatment yang komprehensif umumnya meliputi; Terapi Wicara (Speech Therapy), Okupasi Terapi (Occupational Therapy) dan Applied Behavior Analisis (ABA) untuk mengubah serta memodifikasi perilaku.
Berikut ini adalah suatu uraian sederhana dari berbagai literatur yang ada dan ringkasan penjelasan yang tidak menyeluruh dari beberapa treatment yang diakui saat ini. Menjadi keharusan bagi orang tua untuk mencari tahu dan mengenali treatment yang dipilihnya langsung kepada orang-orang yang profesional dibidangnya. Sebagian dari teknik ini adalah program menyeluruh, sedang yang lain dirancang menuju target tertentu yang menjadi hambatan atau kesulitan para penyandangnya.
  • Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis (ABA) yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
  • Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime.
  • TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication – Handicapped Children).
  • Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).
  • Speech – Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory/pendengaran.
  • Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange Communication System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
  • Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
  • Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational Therapy (OT), dan Auditory Integration Training (AIT).
Dengan adanya berbagai jenis terapi yang dapat dipilih oleh orang tua, maka sangat penting bagi mereka untuk memilih salah satu jenis terapi yang dapat meningkatkan fungsionalitas anak dan mengurangi gangguan serta hambatan autisme. Sangat disayangkan masih minim data ilmiah yang mampu mendukung berbagai jenis terapi yang dapat dipilih orang tua di Indonesia saat ini. Fakta menyebutkan bahwa sangat sulit membuat suatu penelitian mengenai autisme. Sangat banyak variabel-variabel yang dimiliki anak, dari tingkat keparahan gangguannya hingga lingkungan sekitarnya dan belum lagi etika yang ada didalamnya untuk membuat suatu penelitian itu sungguh-sungguh terkontrol. Sangat tidak mungkin mengontrol semua variabel yang ada sehingga data yang dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mungkin secara statistik tidak akurat.
Tidak ada satupun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak. Terapi harus disesuaikan dengan kebutuhan anak, berdasarkan pada potensinya, kekurangannya dan tentu saja sesuai dengan minat anak sendiri. Terapi harus dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu mengarahkan pilihan-pilihan anda terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini. Tidak ada jaminan apakah terapi yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga sungguh-sungguh akan berjalan efektif. Namun demikian, tentukan salah satu jenis terapi dan laksanakan secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan dapat melakukan perubahan terapi. Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh orang tua secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan selama 3 bulan maka bentuk intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap bersikap obyektif dan tanyakan kepada para ahli bila terjadi perubahan-perubahan perilaku lainnya.

Prognosis

Diperkirakan terdapat 400.000 individu dengan autisme di Amerika Serikat. Sejak tahun 80 – an, bayi-bayi yang lahir di California – AS, diambil darahnya dan disimpan di pusat penelitian Autisme. Penelitian dilakukan oleh Terry Phillips, seorang pakar kedokteran saraf dari Universitas George Washington. Dari 250 contoh darah yang diambil, ternyata hasilnya mencengangkan; seperempat dari anak-anak tersebut menunjukkan gejala autis. National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) memperkirakan bahwa autisme dan PDD pada tahun 2000 mendekati 50 – 100 per 10.000 kelahiran. Penelitian Frombonne (Study Frombonne: 2003) menghasilkan prevalensi dari autisme beserta spektrumnya (Autism Spectrum Disorder/ASD) adalah: 60/10.000 – best current estimate dan terdapat 425.000 penyandang ASD yang berusia dibawah 18 tahun di Amerika Serikat. Di Inggris, data terbaru adalah: 62.6/10.000 ASD. Autisme secara umum telah diketahui terjadi empat kali lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan yang terjadi pada anak perempuan. Hingga saat ini penyebabnya belum diketahui secara pasti. Saat ini para ahli terus mengembangkan penelitian mereka untuk mengetahui sebabnya sehingga mereka pun dapat menemukan ‘obat’ yang tepat untuk mengatasi fenomena ini. Bidang-bidang yang menjadi fokus utama dalam penelitian para ahli, meliputi; kerusakan secara neurologis dan ketidakseimbangan dalam otak yang bersifat biokimia. Dr. Ron Leaf saat melakukan seminar di Singapura pada tanggal 26 – 27 Maret 2004, menyebutkan beberapa faktor penyebab autisme, yaitu:
  • Genetic susceptibility – different genes may be responsible in different families
  • Chromosome 7 – speech / language chromosome
  • Variety of problems in pregnancy at birth or even after birth
Meskipun para ahli dan praktisi di bidang autisme tidak selamanya dapat menyetujui atau bahkan sependapat dengan penyebab-penyebab di atas. Hal terpenting yang perlu dicatat melalui hasil penelitian-penelitian terdahulu adalah bahwa gangguan autisme tidak disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat psikologis, misalnya karena orang tua tidak menginginkan anak ketika hamil.
Bagaimana di Indonesia? Belum ditemukan data yang akurat mengenai keadaan yang sesungguhnya di Indonesia, namun dalam suatu wawancara di Koran Kompas; Dr. Melly Budhiman, seorang Psikiater Anak dan Ketua dari Yayasan Autisme Indonesia menyebutkan adanya peningkatan yang luar biasa. “Bila sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autisme diperkirakan satu per 5.000 anak, sekarang meningkat menjadi satu per 500 anak” (Kompas: 2000). Tahun 2000 yang lalu, Dr. Ika Widyawati; staf bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak penyandang autisme di Indonesia. Jumlah tersebut menurutnya setiap tahun terus meningkat. Hal ini sungguh patut diwaspadai karena jika penduduk di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 160 juta, kira-kira berapa orang yang terdata sungguh-sungguh menyandang austime beserta spektrumnya?

Perkembangan penelitian Autisme

Tahun 1960 penanganan anak dengan autisme secara umum didasarkan pada model psikodinamika, menawarkan harapan akan pemulihan melalui experiential manipulations (Rimland, 1964). Namun demikian model psikodinamika dianggap tidak cukup efektif. Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat sejumlah laporan penelitian bahwa pelaku psikodinamik tidak dapat memberikan apa yang mereka janjikan (Lovaas, 1987). Melalui berbagai literatur, dapat disebutkan beberapa ahli yang memiliki perbedaan filosofis, variasi-variasi treatment dan target-target khusus lainnya, seperti:
  • Rimland (1964): Meneliti karakteristik orang tua yang memiliki anak dengan autisme, seperti: pekerja keras, pintar, obsesif, rutin dan detail. Ia juga meneliti penyebab autisme yang menurutnya mengarah pada faktor biologis.
  • Bettelheim (1967): Ide penyebab autisme adalah adanya penolakan dari orang tua. Infantile Autism disebabkan harapan orang tua untuk tidak memiliki anak, karena pada saat itu psikoterapi yang sangat berpengaruh, maka ia menginstitusionalkan 46 anak dengan autistime untuk keluar dari stress berat. Namun tidak dilaporkan secara detail kelanjutan dari hasil pekerjaannya tersebut.
  • Delacato (1974): Autisme disebabkan oleh Brain injured. Sebagai seorang Fisioterapi maka Delacato memberikan treatment yang bersifat sensoris. Pengaruh ini kemudian berkembang pada Doman yang dikemudian hari mengembangkan metode Gleen Doman.
  • Lovaas (1987): Mengaplikasikan teori Skinne dan menerapkan Behavior Modification kepada anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk anak dengan autistisme di dalamnya. Ia membuat program-program intervensi bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang dilakukannya di UCLA. Dari hasil program-program Lovaas, anak-anak dengan autisme mendapatkan program modifikasi perilaku yang kemudian berkembang secara professional dalam jurnal-jurnal psikologi.
Hingga saat ini terdapat banyak program intervensi perilaku bagi anak dengan autisme, setiap program memiliki berbagai variasi dan pengembangan-pengembangan sendiri sesuai dengan penelitian-penelitan dilakukan. Perkembangan studi mengenai autisme kemudian disampaikan oleh Rogers, Sally J., sebagaimana disebutkan di bawah ini:
  • 1960s Heavy emphasis on causes of autism, correlates of autism
  • 1970s Heavy emphasis on assessment, diagnosis: emerging literature on treatment
  • 1980s Heavy emphasis on functional assessment and treatment, school-based services
  • 1990s Heavy emphasis on social interventions, assessment, school-based services
  • 2000s Litigation, school-based services  
  •  
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Autisme