a. Pengertian
Istilah Empty Nest Syndrome, secara harfiah dapat diartikan sindroma sarang kosong (empty = kosong, nest
= sarang ). Sindroma ini adalah suatu keadaan yang menimpa kaum ibu
pada saat anaknya meninggalkan rumah karena belajar di kota lain atau ke
luar negeri. Juga dapat terjadi ketika anaknya menikah dan tidak
tinggal serumah lagi. Keadaan ini menyebabkan ada perasaan tidak
diperlukan lagi peranan sebagai ibu seperti waktu sebelumnya (Dewi,
2007).
Sindrom
sarang kosong mengacu pada kesedihan yang banyak terjadi pada orang
tua ketika anak-anak mereka tidak tinggal lagi bersama dalam satu
rumah. Kondisi ini secara khas terjadi pada wanita. Sindrom
sarang kosong berbeda dengan kesedihan karena kehilangan orang yang
dicintai. Kesedihan pada sindrom sarang kosong sering tidak dikenali,
sebab seorang anak orang dewasa pindah dari rumah dilihat sebagai
peristiwa yang normal (Betterhealth, 2006).
Sindrom
sarang kosong adalah suatu istilah yang menggambarkan kondisi
psikologi dan emosi yang dialami wanita dalam suatu waktu karena
ditinggalkan oleh anak-anaknya atau karena anaknya menikah (Marjorie,
2007).
Sindrom
sarang kosong mengacu pada merasa tekanan, kesedihan, dan atau duka
cita yang dialami oleh orang tua setelah anak-anaknya meninggalkan rumah
setelah dewasa atau berumah tangga. Hal ini dapat terjadi ketika
anak-anaknya pergi karena kuliah atau menikah (Cushman, 2005).
b. Penyebab
Empty Nest Syndrome
(ENS) muncul sebagai gejala yang banyak melanda kaum ibu, terutama di
negara barat, yang hubungan kekerabatan keluarga hampir tidak ada. Di
barat, yang dinamakan keluarga hanya ayah, ibu, dan anak-anak, sehingga
bila anak - anak pergi meninggalkan rumah, terasa sekali adanya
kekosongan. Apalagi bila suami telah meninggal dunia, atau terpaksa
hidup sendiri karena perceraian. Di Indonesia yang nilai kekerabatan
keluarga masih menyertakan kakek, nenek, paman, bibi, saudara sepupu,
kemenakan, dan saudara dekat lainnya. Akan tetapi untuk ke depan,
kemungkinan norma kekerabatan kita juga dapat berubah, dan mengikuti
pola kekerabatan yang ada di negara barat. Walaupun demikian, sekarang
pun bukan berarti ENS tidak dirasakan kaum ibu di Indonesia, karena
hubungan emosi ibu dan anak bersifat universal (Dewi, 2007).
Keibuan
selalu berkaitan dengan relasi ibu dengan anaknya sebagai kesatuan
fisiologis, psikis dan sosial. Relasi tersebut dimulai sejak anak berada
dalam kandungan ibunya dan dilanjutkan dengan proses-proses fisiologis
berupa kelahiran, periode menyusui dan memelihara anak. Ketika anak
mulai meninggalkan rumah, seorang ibu harus menghadapi masalah
penyesuaian kehidupan yang biasa disebut dengan periode sarang kosong.
Sindrom sarang kosong ini sangat terasa bagi ibu rumah tangga karena
sebagian besar waktu mereka dihabiskan di rumah dan selalu berinteraksi
dengan anak-anak (Rahmah, 2006).
c. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala sindrom sarang kosong menurut Dewi (2007) yaitu:
1). Ibu meneteskan airmata atau menangis tersedu-sedu, bila teringat anaknya.
2). Sering termenung menatap tempat tidur yang kosong.
3). Menaruh pakaian anaknya di bawah bantalnya
4). Diam-diam menciumi pakaian putra atau putrinya.
Keadaan
ini dianggap normal, bila berlangsung hanya satu minggu setelah
kepergian anaknya, tetapi bila keadaan ini berlangsung lama maka disebut
sindrom sarang kosong.
Wanita
yang mengalami sindrom sarang kosong akan mengalami krisis kepercayaan
diri, mereka merasakan tidak banyak berharga dalam kehidupan
masyarakat (Thang, 2006).
d. Faktor Resiko
Saltz
(2008) menjelaskan bahwa sindrom sarang kosong dibuktikan dengan
adanya kesulitan dalam menghadapi perubahan, yang mana dapat dilihat
dari gejala yang muncul, yaitu sedih yang berlebihan, takut akan peran
anda dalam kehidupan sekarang, adanya aturan utama dalam kegiatan
setiap hari, bagaimana anda memandang diri sendiri, dan bagaimana
fungsi perkawinan anda.
Menurut
Rahmah (2006) ada beberapa faktor yang mempengaruhi sindrom sarang
kosong pada ibu, yaitu keberadaan dan hubungan dengan pasangan, hubungan
dengan anak sebelum, saat dan sesudah terpisah serta keyakinan
terhadap kemampuan diri sendiri.
Adapun faktor resiko yang menyebabkan seseorang terkena sindrom sarang kosong, sebagai berikut (Saltz, 2008):
1). Orang yang sulit menerima perubahan dan perpisahan
2). Orang tua yang selalu memberikan waktunya secara penuh
3). Orang yang mengalami menopause, pensiun dan penuaan
4). Orang tua yang merasa tidak siap ditinggal pergi anaknya dari rumah
e. Cara Mengantisipasi
Sindrom
sarang kosong tidak akan terjadi jika anda memikirkan bagaimana
menghadapi perubahan agar menjadi lebih mudah. Beberapa hal dibawah ini
dapat anda lakukan dengan mudah, lebih menggembirakan dan menyenangkan,
Saltz (2008):
1). Membuat perencanaan awal
Mulailah menyusun rencana sedini mungkin dan tanyakan pada anak anda tentang rencana mereka dimasa depan.
2). Mengerti akan pasangan kita
Lihatlah
secara positif, bahwa waktu yang ada adalah milik anda dan suami untuk
menumbuhkan kembali sikap romantis, ciptakan privasi dalam rumah,
berjalan-jalan dan cari tahu kembali mengenai hal-hal lain.
3). Buatlah daftar tentang mimpi dan cita-cita anda
Membuat
daftar dari pemikiran kita tanpa harus tercapai dan melibatkan
anak-anak. Seperti membuat puisi, belajar piano, menemukan sebuah
pekerjaan baru atau melanjutkan sekolah karena belajar tidak mengenal
usia.
4). Menghindari perubahan yang terlalu besar
Jangan membuat perubahan yang terlalu besar, berilah waktu pada diri anda dan jangan melakukan sesuatu secara tiba-tiba.
5). Berbagi dengan orang lain yang mengalami hal sama
Satu masalah yang timbul pada ENS adalah bagaimana mendapakan simpati, karena itu terbukalah kepada orang lain.
6). Persiapkan anak anda
Persiapkanlah suatu hal yang terbaik bagi anda dan anak anda.
Apabila sindrom sarang kosong terjadi berlarut-larut dan tidak diantisipasi, maka seorang ibu akan menjadi sangat sensitif dan kerap
berprasangka negatif. Seorang ibu merasa anaknya tidak lagi
menempatkannya di urutan pertama dalam hidup setelah anaknya menikah. Ia
merasa anaknya lebih memilih pasangannya daripada dirinya (Indriasari
& Ivvaty, 2007).
f. Cara Mengatasi
Terdapat
beberapa cara yang baik untuk mengatasi akibat ENS yang merugikan,
yaitu meyakinkan pada diri sendiri bahwa kepergian anak adalah untuk
kebaikan masa depannya. Tidak perlu merasa tidak berguna, karena semua
bimbingan seorang ibu yang disertai kasih sayang yang mendalam, akan
tertanam dalam nurani anak. Menghindari mengungkap sesuatu yang
merisaukan perasaan anak. Berbagi rasa dengan teman atau saudara yang
mengalami hal yang sama. Mencurahkan perhatian pada hal yang menyenangkan atau melakukan pekerjaan sesuai hobi (Dewi, 2007).
Menurut
Rahmah (2006), penyesuaian awal yang harus dilakukan adalah
penyesuaian terhadap keluarga yang dalam hal ini berarti pasangan hidup
atau suami, dan secara otomatis menyebabkan harus dilakukannya
perubahan peran. Perubahan peran seorang ibu akan menjadi awal
penyesuaian diri menghadapi sindrom sarang kosong. Seorang ibu yang
masih memiliki pasangan, cenderung lebih mudah menyesuaikan diri
dibandingkan dengan ibu yang sudah tidak memiliki pasangan. Keberadaan
pasangan sangat berpengaruh dalam mencapai keseimbangan diri seorang
ibu setelah kepergian anak, karena orientasi peran dalam hidup kembali
berpusatkan pada pasangan. Selain itu, keberadaan pasangan juga mampu
mereduksi kesedihan dan rasa sepi pada diri seorang ibu. Untuk ibu yang
sudah tidak didampingi pasangan, cenderung mengorientasikan diri pada
kegiatan diluar rumah. Dengan melibatkan diri pada kesibukan dan
keramaian di luar rumah, seorang ibu mendapatkan kompensasi atas rasa
kehilangannya terhadap anak-anak. Kemudian bersamaan dengan berjalannya
waktu sebagai pemicu munculnya kebiasaan, seorang ibu akan keluar dari
sindrom sarang kosong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar